6/20/19
MACAPAT
Labels:
asmarandana,
dandanggula,
durmo,
gambuh,
kinanthi,
maskumambang,
megatruh,
mijil,
pangkur,
pucung,
sinom
PERKEMBANGAN BAHASA YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN BAHASA
Pada saat bangsa
indonesia belum merdeka rata rata penduduknya menggunakan bahasa daerah
masing masing untuk melakukan percakapan satu dengan yang lainnya seperti
bahasa batak, bahasa sunda, bahasa jawa, dll. Namun setelah di ikrarkannya sumpah pemuda pada
28 Oktober 1928 maka digunakanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bahasa
Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia
yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan
modern.
Bahasa (language)
mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan
untuk menyampaikan makn kepada orang lain, termasuk di dalamnya perbedaan
bentuk komunikasi yang luas, seperti : tulisan, bicara, bahasa simbol, ekspresi
muka, isyarat, pantomime dan seni. Kartono (1990) menambahkan bahwa bahasa
dapat menjadi :
- Alat untuk mengngkapkan pikiran dan maksud tertentu.
- Untuk alat berkomunikasi dengan orang lain.
- Dipakai untuk membuka lapangan rohaniah yang lebih tinggi tarafnya.
- Bahasa juga dipakai untuk mengembangkan fungsi-fungsi tanggapan,
perasaan, fantasi, intelek, dan kemauan.
Menurut Hurlock (1978)
komunikasi berarti suatu pertukaran pikiran dan perasaan. Pertukaran tersebut
dapat dilaksanakan dengan setiap bentuk bahasa seperti : isyarat, ungkapan
emosional, bicara, atau bahasa tulisan, tetapi komunikasi yang paling umum dan
paling efektif dilakukan dengan bicara.
Elliot, Kratochwill,
Littlefield, dan Travers (1999) membagi bahasa menjadi empat komponen, yaitu :
- Phonology (bunyi) : penggunaan bunyi untuk membentuk
kata.
- Syntax (tata bahasa) : sistem yang digunakan untuk
meletakkan kata-kata secara bersamaan dan membentuknya menjadi kalimat.
- Semantics (arti) : arti dari kata-kata: hubungan
antara ide dengan kata-kata.
- Pragmatics (penggunaan) : kemampuan untuk berpartisipasi
dalam percakapan, menggunakan bahasa yang oleh masyrakat dianggap benar.
A.
Sejarah Perkembangan Bahasa di Dunia
Perkembangan sejarah
bahasa dari jaman Yunani Kuno sampai sekarang tidak lepas dari adanya
kontroversi. Kontroversi yang pertama sudah ada sejak abad keenam sebelum
masehi. Dua kubu yang saling berhadapan saat itu kubu phusis dan kubu thesis.
Kubu phusis percaya bahwa dalam bahwa itu ada keterkaitan antara kata dan alam.
Keterkaitan antara kata dan alam itu, menurut kubu phusis, bersifat alami dan
memang sangat diperlukan. Sebaliknya,
kubu thesis percaya bahwa tidak ada keterkaitan antara kata dan alam. Hubungan
antara kata dan alam sifatnya arbitrer
dan konvensional.
Dalam mempertahankan
pendiriannya, kubu phusis mengemukakan beberapa alasan. Pertama, adanya gejala anamatopoeia, yang berarti ‘gema suara
alam’. Maksud kaum phusis ialah bahwa gema suara alam itu dipakai manusia untuk
menamakan konsep-konsep kebendaan yang ada di sekelilingnya. Kata-kata dalam
bahasa Inggris, sekaligus artinya dalam Bahasa Indonesia seperti misalnya,
splash ‘percik’, pick ‘petik’, sway ‘ayun’, dan masih banyak lagi adalah bukti
keyakinan para penganut kubu phusis ini.
Gejala onomatopoeia itu
berkembang ke arah asosiasi bunyi dan dengan sifat atau keadaan seseorang atau
benda. Misalnya, bunyi i dalam Bahasa Indonesia diasosiaskan dengan kecantikan,
kemungilan, atau kesucian. Kata-kata melati, suci, murni, dan kebanyakan nama
wanita Indonesia, adalah perwujudan dari asosiasi ini.
Selain simbolisme bunyi
di atas, pandangan terhadap gema suara alam itu berkembang lagi ke arah
asosiasi warna, lagu dengan perasaan. Perkembangan onomatopoeia yang
mengasosiakan warna dan lagu dengan perasaan itu sangat bermanfaat dalam sistem
pengaturan cahaya, warna kostum lagu-lagu pengiring dalam pementasan seni,
drama, dan tari.
Di lain pihak, dalam
mempertahankan pendiriannya, kubu thesis mengutarakan bukti-bukti bahwa nama
yang diberikan oleh manusia kepada benda-benda di sekitarnya tidak menurut
kaidah tertentu, misalnya menurut kaidah asosiasi antara nama benda dengan
suara alam. Nama-nama yang diberikan itu hanyalah konvensi antara sesama
anggota masyarakat pembicara dari suatu bahasa. Mengapa orang Inggris
mengatakan branches of a tree, sementara orang Indonesia menyebut cabang-cabang
pohon¸dan orang Jawa menamakan pange wit, dan dalam bahasa lain disebut lain
lagi. Hal semacam itu sama sekali tidak mencerminkan adanya keterkaitan antara
nama benda atau konsep dengan gema suara alam.
Kontroversi yang kedua
terjadi sekitar abad ke-4 sebelum Masehi antara penganut faham Analogi dan
penganut faham Anamoli. Karena tajamnya perbedaan keyakinan antara dua aliran
ini, mereka tidak mau tinggal dalam satu kota. Para penganut paham Analogi
berpusat di kota Alexandria, sedangkan para penganut paham Anomali lebih suka
tinggal di kota Pergamum.
Dalam bidang bahasa,
kaum Analogi percaya bahwa bahasa itu tertata menurut aturan yang pasti. Dalam
bahasa Inggris dikatakan bahwa ‘languange is governed’. Keteraturan bahasa,
menurut aliran Analagi, terdapat pada semua aspek: aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik.
Dalam bidang sastra, para anggota kubu Analogi menyarankan agar tujuan karya sastra itu terutama untuk menghibur.
Dalam bidang sastra, para anggota kubu Analogi menyarankan agar tujuan karya sastra itu terutama untuk menghibur.
Kedua kubu itu
menganjurkan agar kita mempelajari karya-karya sastra (puisi, prosa, maupun
drama) pengarang-pengarang terkenal. Pernyataan kedua kubu itu mengandung
maksud bahwa para sastrawan bertanggung jawab untuk menjadi model yang baik
dalam hal berbahasa yang benar dan dalam hal mengajarkan moral. Kontroversi antara
Analogi dan Anomali itu berlanjut sampai sekarang.
Kontroversi yang ketiga
timbul pada jaman Renaissance, antara para penganut empirisme dan para penganut
nasional. Kaum empiris percaya bahwa jiwa manusia itu mempunyai kemampuan,
tetapi kita tidak tahu banyak tentang kemampuan itu. Mereka menganggap bahwa
jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang dalam istilah mereka yang sangat
terkenal itu sebagai “tabula rasa”. Sebelum jiwa manusia melakukan kegiatan,
manusia tidak mempunyai apa-apa. Dalam bahasa Latin ucapan mereka yang sangat
terkenal ialah ‘Nihil estis intellectu, quod non prius tuerist in sensus’.
Dalam Bahasa Indonesia ucapan di atas artinya kurang lebih ‘Jiwa kita ini
kosong sebelum ada rangsangan lewat indera kita.’ Dalam masalah bahasa, kaum
empiris percaya bahwa bahasa itu dipelajari dari lingkungan sekitar. Jadi,
bahasa itu pada hakekatnya, menurut mereka,
learned
‘dipelajari’.
Di pihak lain, kaum
rasionalis percaya bahwa segala sesuatu itu dapat dicari rasionalnya, karena
tidak mungkin segala sesuatu itu terjadi begitu saja tanpa ada alasannya.
Gagasan pokok kaum rasionalis ialah bahwa jiwa manusia itu tidak seperti kertas
kosong. Jiwa manusia berbekal pemikiran-pemikiran yang logis.
Dalam masalah bahasa,
kaum rasionalis menyangkal bahwa bahasa itu didapat dari lingkungan.
Sebaliknya, mereka percaya bahasa itu sudah ada dalam jiwa manusia sebagai
pembawaan yang dalam istilah bahasa Inggris disebut innate. Karena pada
hakekatnya manusia itu mempunyai bawaan yang universal sifatnya, bahasa pun
mempunyai sifat yang universal pula. Di pihak lain, pengikut-pengikut paham
empirisme, terutama Johann Gottfried von Herder (1744-1803), percaya bahwa jiwa
dan pikrian manusia itu berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain,
tergantung pada budaya yang melingkunginya. Sebagai konsekuensi, Herder
mengungkapkan adanya nasionalisme kebahasaan, dan ia tidak percaya bahwa bahasa
itu mempunyai sifat universal.
Kontroversi yang sempat
kita amati dewasa ini ialah kontroversi sejarah bahasa dalam abad ke-20, yaitu
antara paham struktualisme dan para Cartersian Modern dengan Gramatika
Transformasi Generatifnya.
Holisme yang diterapkan
di dalam sejarah perkembangan bahasa melahirkan aliran struktualisme. Kata
struktualisme berasal dari bahasa Latin strunctura, yang artinya bangunan.
Menurut kaum struktualis, konsep apapun dapat dihayati sebagai bangunan. Dengan
sendirinya, bahasa pun dapat dihayati sebagai bangunan. Menurut konsep ini,
bahasa dibangun dari kalimat-kalimat; kalimat dibangun dari klausa-klausa; selanjutnya,
klausa dibangun dari frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun
dari morfem-morfem; dan akhirnya, morfem dibangun dari fonem. Tidaklah
mengherankan jika gramatika yang diperkenalkan oleh aliran struktualisme itu
terbatas pada gramatika struktur frasa yang dalam bahasa Inggris disebut Phrase
Structure Grammar.
Chomsky berpendapat
bahwa dalam masalah bahasa, kaum strukturalis mengacu pada kerangka pikir
keperilakuan. Padahal, bahasa manusia itu sangat rumit, tidak sesederhana
seperti yang diperkirakan oleh para penganut struktualisme. Selanjutnya,
sarjana ini mengatakan bahwa jiwa kita ingin memahami bagaimana bahasa dikuasai
dan dipergunakan dan dipergunakan oleh manusia, kita harus memisahkan sistem
kognitif secara tersendiri, suatu sistem pengetahuan dan keyakinan yang
berkembang sejak anak-anak, yang telah berinteraksi dengan factor-faktor lain,
untuk menentukan jenis perilaku kebahasaan yang dapat kita amati. Dalam istilah
linguistic, Chomsky menggunakan istilah kompetensi, yaitu yang mendasari itu
tidak didasari oleh manusia. Dari konsep ini dapat dimengerti bahwa bahasa itu
bukan learned¸ melainkan innate.
Di Indonesia
kontroversi antara kelompok yang percaya bahasa itu mempunyai fungsi
transaksional dan kelompok yang percaya bahwa bahasa itu berfungsi
interaksional. Bagi para penganut transaksional, fungsi bahasa yang penting
ialah daya penyampai pesan yang terkandung dalam kalimat atau ujaran. Kelompok
ini percaya bahwa satuan bahasa yang terkecil ialah kalimat, sebab kalimat itu
berisi pesan yang dianggap lengkap. Siapa yang menerima pesan tidaklah penting.
Agar pesan dapat diterima tanpa salah kalimat haruslah jelas, seperti jelasnya
kalimat yang diciptakan oleh seorang penutur yang ideal, tanpa cela.
B. Penyempurnaan
ejaan
1. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan
ejaan bahasa Melayu
dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer
dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896.
Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu
resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini
yaitu:
- Huruf ï untuk membedakan antara huruf i
sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai.
Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
- Huruf
j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang,
dsb.
- Huruf
oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer,
dsb.
- Tanda
diakritik, seperti
koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal,
ta’, pa’, dsb.
2. Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan
pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga
dikenal dengan nama ejaan Soewandi.
Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
- Huruf oe diganti dengan u pada
kata-kata guru, itu, umur, dsb.
- Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k
pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
- Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti
pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
- Awalan
di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan
kata yang mendampinginya.
3. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini
dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun
berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
4. Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini diresmikan
pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia.
Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD,
ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin
dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak
1972
|
Tj
|
Ch
|
c
|
Dj
|
J
|
j
|
Ch
|
Kh
|
kh
|
Nj
|
Ny
|
ny
|
Sj
|
Sh
|
sy
|
J
|
Y
|
y
|
oe*
|
U
|
u
|
Catatan: Tahun
1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".
C.
Contoh Perkembangan Bahasa Yang Mempengaruhi Perubahan
Bahasa
1. Urutan
perkembangan Bahasa pada Bayi
Bahasa
|
Usia
|
Menangis (crying)
Mendekut (cooing)
Mengoceh (babbling)
Kata-kata tunggal (single words)
Dua – kata frase (two-word phrases)
Frase yang lebih panjang (longer phrases)
Kalimat singkat dan pertanyaan
|
Sejak lahir
2 – 4 bulan
4 – 6 bulan
12 bulan
18 bulan
2 tahun
2 – 3 tahun
|
Tangis bayi dan anak juga
merupakan bentuk bahasa, yaitu bahasa yang pertama-tama dipakai untuk
menyampaikan isi kehidupan batiniahnya. Seiring dengan semakin bertambahnya
umur anak, maka bahasanya pun makin berkembang pula, antara lain juga dengan
menggunakan onomatopee, yaitu memberikan nama pada benda-benda/hewan,
dengan menyebutkan bunyinya (onoma : nama : poiein : membuat,
menirukan bunyi). Umpamanya saja, anak memberikan nama “tut-tut” pada kereta
api, “ngak-ngak” untuk angsa, “meong” untuk menyebutkan kucing, dan lain
sebagainya. Selanjutnya secara berangsur-angsur anak akan memahami bahwa bahasa
merupakan symbol dari benda dan pengertian tertentu.
Pada perkembangan bahasa
bayi di atas dapat kita ketahui bahwasannya bahasa dari masa ke masa mengalami perubahan
dan perkembangan yang pastinya akan mempengaruhi perubahan bahasa yang akan
digunakan.
2. Perkembangan
bahasa indonesia yang tergolong
menyimpang namun membawa pengaruh dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Sering
disebut sebagai bahasa gaul bagi para remaja maupun pemuda seperti contoh :
cepet ( cepat ), kemaren ( kemarin ), gue ( saya ), lu ( kamu ),
entar ( sebentar ), bokap/nyokap ( bapak/ibu ),dan terkadang juga mencampur
bahasa indonesia dan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Misalnya:
sorry, saya tidak bisa hadir ( sorry merupakan arti dari kata “ maaf ” yang di
ganti dengan bahasa asing yang di campur dengan bahasa indonesia ).
Pustaka
Diakses dari: http://shiro.gxrg-sejarah-perkembangan-bahasa-didunia.org
posting pada hari minggu, 26 Juli 2009. Akses pada 29 Maret 2010
Diakses dari: http://id.wikipedia.org
Perkembangan Bahasa/
Komunikasi. Diakses dari: Bintang
Bangsaku dari bintang untuk bangsaku pada 29 Maret 2010
Sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Dari: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia/ diakses pada 29 Maret 2010
ANALISIS NASKAH MANUSKRIP SERAT AMBIYA 1 PODO 5
1. Alih Tulis
Alih tulis dari aksara jawa ke aksara latin pada dasarnya memiliki tujuan yakni untuk mempermudah pembaca dalam mengetahui isi dan kandungan yang terdapat dalam naskah ini. Dalam proses alih tulis ini ada dua macam, yakni transliterasi dan transkripsi .
a. Transliterasi, yakni alih tulis naskah dengan mengganti jenis tulisan naskah yang disalin, misalnya dari tulisan Jawa ke tulisan latin, dari tulisan Arab pegon ke tulisan latin (Baroroh-Baried, 1985).
b. Transkripsi adalah alih tulis naskah tanpa mengganti jenis tulisan naskah yang disalin.
Dalam mengalihtuliskan naskah ada 2 metode yakni:
a. Metode diplomatik (sesuai apa adanya),
b. Ortografi (sesuai dengan penulisan berdasarkan ejaan yang disempurnakan).
Berikut hasil transkripsi dan transliterasi serat Ambiya 1 podo 5:
a. Transkripsi diplomatik :
¦pituzNkStaunMlih,muruhkumukusK=[toy,mr=ai=tw=kuku[sS,atemahanLzitpWT,[fnNi=muruhpunNik,ffimbumilpisPitu,nzi=wiy/k=zks,,
b. Transkripsi ortografi :
¦pituzNkStaunMlih,muruhkumukusK=[toy,mr=ai=tw=kuku[s,atemanLzitpWT,[fn=imuruhpunik,ffimbumilpisPitu,nzi=wiy/k=zks,,
c. Transliterasi diplomatik :
Asmarandana:
Pitung naksa tahun malih/ muruh kumukus kang toya/ marang hing tawang kukussè/ atêmahhan langit sapta/ dènning muruh punnika/ dadi mabumi lapis pitu/ nanging wiyar kang ngakasa//
d. Transliterasi ortografi :
Asmarandana:
Pitung naksa taun malih/ muruh kumukus kang toya/ marang ing tawang kukusè/ atêmahan langit sapta/ dèning muruh punika/ dadi mabumi lapis pitu/ nanging wiyar kang ngakasa//
2. Merunut dan Mengartikan (Etimologi) kata
· Pitung : pitu, tujuh
· Taun : mangsa kang suene 12 sasi
· Muruh : metu umpluke
· Kumukus : metu kukuse
· Kukus : kebul; uwab
· Tawang : awang-awang; langit
· Mabumi : bumi
· Wiyar : amba, jembar
3. Parafrase
Pembuatan parafrase ini akan memudahkan untuk menerjemahkan naskah. Parafrase merupakan bentuk gubahan dari puisi menjadi prosa. Berikut gubahan tembang Asmarandana menjadi bentuk prosa.
Dumadinè jagad gumêlar iku sajroning yuswa kang suwèn datan dingêrtèni manungsa amarga suwènè tan kêno diêntèni. Bumi mênika cinitah awujud tirto kang kênêbur-nêbur pindha kêmocaking samodra, bêbasan panas datan antuk panonopan katiuping angin mêmbul jumêdhul ing langit pindha soroting surya awak maujud kaya dènè cahya padhang byar, kang jarakè duwur sarta adoh uga tanpa itungan.
4. Terjemahan
Dalam menterjemahkan naskah dapat dilakukan 3 macam teori dan metode terjemahan. Ketiga jenis terjemahan tersebut adalah:
a. Terjemahan harfiah yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaannya.
b. Terjemahan isi atau makna yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
c. Terjemahan bebas yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa sasaran.
Tujuan dari terjemahan adalah agar masyarakat yang tidak menguasai bahasa naskah aslinya dapat juga menikmati isinya, sehingga isi naskah akan lebih tersebar luas.
Bentuk terjemahan Serat Ambiya 1 podo 5 :
a. Terjemahan Harfiah :
· Pitung : pitu
· Taun : tahun
· Muruh : metu umpluke
· Kumukus : metu kukuse; ngebul; mendidih
· Kukus : kebul; uwab
· Tawang : langit; awang-awang
· Mabumi : bumi
· Wiyar : amba
b. Terjemahan isi atau makna :
· Pitung : pitu; tujuh
· Taun : tahun
· Muruh : metu umpluke, wuruh, uruh
· Kumukus : metu kukuse; mendidih
· Kukus : kebul; asap
· Tawang : ngangkasa; langit; angkasa
· Mabumi : bumi
· Wiyar : amba; jembar; luas
c. Terjemahan bebas :
Terjadinya dunia ini di dalamnya dengan waktu yang tidak dimengerti oleh manusia. Karena lamanya tidak bias di tunggu, bumi tercipta dari bentuk air yang mendidih seperti ombak di samudra, dengan peribahasa panasnya tidak mendapat tempat berteduh, dan tertiupa angin naik mencapai angkasa. Seperti sinarnya matahari berubah wujud seperti cahaya terang benderang yang tinggi tidak ada batasan jauhnya juga sangat tak terduga tingginya.
Subscribe to:
Posts (Atom)