5/17/13

FENOMENA BUDAYA NYEKAR

Fenomena budaya akan tercipta jika dilakukan oleh sekumpulan masyarakat, Suatu fenomena budaya tidak akan terwujud dalam suatu mayarakat jika pelakukanya hanya satu atau dua subjek. Seperti halnya fenomena nyekar yang terjadi di daerah Cibeunying kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap tepatnya di makam Cikreo. Desa Cibeunying ini terletak di wilayah barat kecamatan Majenang, tepatnya di wilayah Kab. Cilacap Barat yang jarak tempuhnya kira-kira 84 km dari kota kabupaten. Tradisi nyekar yang biasa dilakukan oleh keluarga bapak Jono beserta sebagian warga desa Cibeunying yang mayoritas memiliki mata pencaharian dengan bertani, serta tingkat pendidikan yang masih tergolong minim. Penduduk di desa ini mayoritas memiliki tingkat pendidikannya hanya mencapai tingkat Sekolah Dasar dan hanya sedikit yang tingkat pendidikannya tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang mayoritas tergolong masih rendah, maka dalam melakukan tradisi nyekar ini mereka menganggap bahwa tradisi nyekar yang biasa dilakukan merupakan sesuatu keharusan yang turun temurun. Tradisi nyekar ini dilakukan satu hari menjelang ramadhan, tradisi ini sudah dianggap kebiasaan yang harus dilakukan serta merupakan suatu tradisi yang tidak dapat ditinggalkan terutama pada masyarakat jawa. Menurut nara sumber kegiatan ziarah nyekar yang mereka lakukan biasanya sehari menjelang ramadhan. Namun, ada juga sebagian warga yang melakukan ziarah nyekar setelah melaksanakan shalat ied. Namun, kapan pun pelaksanaan nyekar ini menurut Pak Jono memiliki maksud dan tujuan yang sama.

Tradisi nyekar ini tidak diketahui sejak kapan awal mulanya dilakukan. Nyekar itu sendiri dapat diartikan mengirim doa sembari menabur bunga. Tradisi nyekar biasanya dilaksanakan pada akhir bulan ruwah, dimana ditandai dengan larisnya penjual bunga tabur dan banyaknya warga yang berbondong-bondong mengunjungi makam keluarga. Tradisi nyekar yang dilakukan oleh keluarga Bapak Jono ini biasa dilakukan di makam Cikreo. Tradisi nyekar yang dilakukan oleh anggota keluarga pak Jono dan sebagian warga desa cibeunying menjelang ramadhan, diawali dengan kegiatan mempersiapkan bunga setaman, bunga setaman pada dasarnya adalah bunga yang beraneka macam yang pada kalangan masyarakat juga di kenal dengan sebutan bunga tujuh rupa. Bunga tujuh rupa dapat diperoleh dengan membeli di pasar ataupun mengumpulkan sendiri, selain bunga setaman hal yang perlu di dipersiapkan yakni membawa alat-alat kebersihan, fungsi alat kebersihan yang berupa sapu lidi, golok, dan sabit adalah untuk membersihkan makam dan lingkungan makam dari sampah, rerumputan dan benda-benda yang tidak bermanfaat serta dapat pula digunakan untuk merapihkan makam, hal yang tidak kalah pentingnya adalah membawa buku Yasin, setelah mempersiapkan kelengkapan tadi kemudian bersama-sama mengunjungi makam keluarga yang terletak di wilayah pemakaman Cikreo serta memulai kegiatan dengan membersihkan makam dari sampah dedaunan dan membersihkan sekitar makam dari rerumputan. Setelah selesai membersihkan makam dengan alat kebersihan yang telah dibawa tadi kemudian dilanjutan dengan kegiatan yang tidak kalah penting yakni melakukan tabur bunga, tabur bunga ini juga dikenal sebagai ritual mengirim bunga “Pamulen” yang digunakan untuk suatu wujud penghormatan kepada leluhur atau orang-orang di alam baka, ritual ini dikenal dengan ritual Ngirim luwur dan bersama-sama mendoakan dengan membacakan Surat Yasin agar almarhum diterima disisi-Nya dan dihapuskan semua dosa-dosanya. 

Namun, pada saat melakukan ziarah kubur banyak hal yang harus diperhatikan, karena tradisi nyekar atau Nyadran adalah berkunjung ke tempat pemakaman jenazah yang oleh masyarakat awam dikenal sacral dan apabila melakukan hal yang tidak sesuai menurut bapak Jono hal di sebut Pamali. Hal yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Duduk diatas kubur 
  2. Solat menghadap kubur 
  3. Mengecat kubur d. Membangun bangunan diatas kubur 
  4. Menyalakan lampu di atas kubur 
Yang kesemuanya itu tidak boleh kita lakukan ketika berziarah nyekar. Selain beberapa hal diatas pada saat melakukan tradisi nyekar untuk kaum wanita tidak diperkenankan memakai aksesoris perhiasan yang berlebihan, karena pada saat melakukan ziarah akan bertemu dengan warga lain yang sedang berziarah, apabila demikian akan memunculkan apa yang disebut dengan Riya atau pamer, dampak dari semua itu akan menimbulkan perguncingan dan kesenjangan sosial. Yang pada tujuan awalnya berkunjung ke makam untuk berziarah akan rusak karena adanya hal.tadi.

Karena pada dasarnya nyekar secara fisik adalah mengunjungi kuburan, tetapi pada hakekatnya secara rohaniah mendoakan mereka yang telah berpulang ke Rahmatullah. Hal yang lebih terpenting setelah nyekar kita diutamakan mempererat silahturahmi dengan orang yang masih hidup dengan cara saling memaafkan, mendoakan, terutama kedua orang tua kita.

Setelah selesai melakukan runtutan kegiatan nyekar maka keluarga bapak Jono warga desa cibeunying kembali ke rumah dan mempersiapkan perlengkapan menjelang bulan syiyam “ramadhan”. Menurut Bapak Jono tradisi nyekar yang dilakukan sehari menjelang bulan Ramadhan ataupun setelah shalat ied memiliki tujuan dan makna yang sama yakni mengunjungi makam dan mendoakan orang yang sudah berpulang ke Rahmatullah.

No comments: